Harus berapa luka lagi terbuka sampai hatimu mau menyala
Dadaku lentera, dirundung dingin diremuk asa tak bernama
Suaramu makin sayup tak bermuara, harapku makin kuncup tak berwarna
Namun rasa ini terlalu ada untuk kubuang di selaksa masa
Namun rasa ini terlalu jiwa untuk ku raba
Namun rasa ini terlalu Aku untuk ku lupa
Aku tak mungkin mati berdiam diri,
karena kaulah yang mengandung segala makna yang kunanti
Aku tak mungkin hanyut dalam sunyi
karena kaulah musim semi, aku salju yang menari
Di sela-sela kebohongan, di altar-altar kata
kuraih manis ingatan, kupendam pahit di sudut mata
Masih juga kupahat lembut momentum saat kita bertatap muka
di segala penjuru waktu yang kutemu, di setiap keping harapan yang beku
Namun aku terlalu engkau untuk melanjutkan hasratku
Namun aku terlalu parau untuk terus menyusun rindu
Namun aku terlalu bangun untuk terlelap, dan berhenti menyusuri jejakmu.
Bandung 05 August 011.
Friday, 5 August 2011
Thursday, 4 August 2011
Alangkah Biru
Alangkah duka tegas bertanya-tanya
di kala malam tak pulang bawa cita
Alangkah pagi masih nyata
di kala hati enggan terluka
Alangkah engkau
Bagai murai di dahan kering
Bagai murai di dahan kering
Aku angin, t'lah lama tak disapa canda
adakah ruang di rindumu untuk sekedar kita bertukar kata
aku terbata-bata
menahan rasa
tak terkata
Alangkah kaku waktu
memaku harap yang kian kelu
tak mampu, melukis citra dirimu
Alangkah biru
sendu
pilu.
4 August. 011
Labels:
Puisi
Wednesday, 3 August 2011
Cerita Terakhir
-Dalam pudar sketsa senyumnya masih setia harum nafasnya-
Garis wajahmu mengurung pandang dalam satu titik terkunci,
aku tak mungkin cari cerita lain lagi.
Bubarkan gerimis kelam lalu undang mereka lagi,
aku nyala api yang menari diatas lilin ketulusan,
bubarkan burung malam lalu undang penghuni pagi,
aku rindu sendiri dalam ruang tak berpenghuni.
Akankah jendela kamarnya kelak terbuka,
hatinya mengurung burung dara yang kecewa,
andai kunci luluh dan mengalah,
pasti ia akan terbang ke langit yang kulukis tanpa lelah.
Kau samudera ungu tanpa dasar,
jiwaku haru telak terjangkar.
Kau datang atau kau pergi,
aku tak mungkin cari cerita lain lagi.
Andai langitku karam tak kau layari,
lebih baik aku tenggelam dalam ruang tak berpenghuni,
ditemani wangi nafasmu dan burung malam yang cemburu.
Aku tak mungkin cari cerita lain lagi,
akan kulukis sketsa senyummu sampai pagi sudi kembali.
Bandung 02 august 011
Garis wajahmu mengurung pandang dalam satu titik terkunci,
aku tak mungkin cari cerita lain lagi.
Bubarkan gerimis kelam lalu undang mereka lagi,
aku nyala api yang menari diatas lilin ketulusan,
bubarkan burung malam lalu undang penghuni pagi,
aku rindu sendiri dalam ruang tak berpenghuni.
Akankah jendela kamarnya kelak terbuka,
hatinya mengurung burung dara yang kecewa,
andai kunci luluh dan mengalah,
pasti ia akan terbang ke langit yang kulukis tanpa lelah.
Kau samudera ungu tanpa dasar,
jiwaku haru telak terjangkar.
Kau datang atau kau pergi,
aku tak mungkin cari cerita lain lagi.
Andai langitku karam tak kau layari,
lebih baik aku tenggelam dalam ruang tak berpenghuni,
ditemani wangi nafasmu dan burung malam yang cemburu.
Aku tak mungkin cari cerita lain lagi,
akan kulukis sketsa senyummu sampai pagi sudi kembali.
Bandung 02 august 011
Labels:
Puisi
Tuesday, 2 August 2011
Kekasih
Tentang seseorang di pintu Sang Kekasih
dan mengetuk. Ada suara bertanya, “Siapa di sana?”
Dia menjawab, “Ini Aku.”
Sang suara berkata, “Tak ada ruang untuk Aku dan Kamu.”
Pintu tetap tertutup
Setelah setahun kesunyian dan kehilangan, dia kembali
dan mengetuk lagi. Suara dari dalam bertanya, “Siapa di sana?”
Dia berkata, “Inilah Engkau.”
Maka, sang pintu pun terbuka untuknya.
dan mengetuk. Ada suara bertanya, “Siapa di sana?”
Dia menjawab, “Ini Aku.”
Sang suara berkata, “Tak ada ruang untuk Aku dan Kamu.”
Pintu tetap tertutup
Setelah setahun kesunyian dan kehilangan, dia kembali
dan mengetuk lagi. Suara dari dalam bertanya, “Siapa di sana?”
Dia berkata, “Inilah Engkau.”
Maka, sang pintu pun terbuka untuknya.
Labels:
Puisi Sufi
Sunday, 31 July 2011
Rumah Kaca Tanpa Nama
Semut-semut merayapi kulit sunyi di bawah awan pekat dibelai angin yang berat
Daun-daun kering di jalanan kusam menuju sebuah pintu
Denting asa,
kelepak harap yang tadi pagi bertengger di jendela alit rumah kaca,
denting rasa,
denting dusta,
kelepak sayap yang tadi sore seputih cerah matanya.
Tinggal tersisa detik-detik yang berdecit malas mendorong nafas ragu-ragu,
detak abu-abu,
rebah satu-satu,
lelap buru-buru.
Malam jadi sekutu rindu yang tak tahu malu, mengurai jarak jadi guna-guna,
namun sia-sia menangkap makna, masih juga berlari tak tahu diri,
berharap dapat gantikan matahari pagi yang membasuh putih cerah matanya.
Kegelisahan tak beraturan menemukan rumahnya dalam kata-kata, rumah kaca tanpa nama, sebuah impromptu dalam bentuk kalimat yang beku.
Beku oleh rindu tak menentu.
31 juli 011
Daun-daun kering di jalanan kusam menuju sebuah pintu
Denting asa,
kelepak harap yang tadi pagi bertengger di jendela alit rumah kaca,
denting rasa,
denting dusta,
kelepak sayap yang tadi sore seputih cerah matanya.
Tinggal tersisa detik-detik yang berdecit malas mendorong nafas ragu-ragu,
detak abu-abu,
rebah satu-satu,
lelap buru-buru.
Malam jadi sekutu rindu yang tak tahu malu, mengurai jarak jadi guna-guna,
namun sia-sia menangkap makna, masih juga berlari tak tahu diri,
berharap dapat gantikan matahari pagi yang membasuh putih cerah matanya.
Kegelisahan tak beraturan menemukan rumahnya dalam kata-kata, rumah kaca tanpa nama, sebuah impromptu dalam bentuk kalimat yang beku.
Beku oleh rindu tak menentu.
31 juli 011
Labels:
Puisi
Friday, 15 July 2011
Antika
Dalam maya langkahku dosa, memungut warna menyulam jiwa
Kau kibar pelangi sendiri, tak satu langit pernah punyai
Aku cemburu pada kupu-kupu, aku cemburu bunga-bunga layu, aku cemburu jalanan kuyu
Tanpa perlu mengetuk rindu
Mereka mampu undang hatimu
Andai nafasku tinta, namamu lembar perangkap asa
Andai denyutku kata, pandangmu buka sekitab prosa
Andai senyummu dusta, aku tak mau tahu
Andai aku ada untuk kau rasa
Landai, landai harapku bertumpu sayu di landai haru
Memuji harum langkah pudarmu dikejar waktu
Adalah tak mungkin
Bagi debu bersanding ratu
Dadaku taman seribu kuncup rindu, kusulam senyum tanpa kata
Tataplah aku!
Dan baca yang kurasa!
- Untuk Antika -
15 juli 011
00.44 wib
Kau kibar pelangi sendiri, tak satu langit pernah punyai
Aku cemburu pada kupu-kupu, aku cemburu bunga-bunga layu, aku cemburu jalanan kuyu
Tanpa perlu mengetuk rindu
Mereka mampu undang hatimu
Andai nafasku tinta, namamu lembar perangkap asa
Andai denyutku kata, pandangmu buka sekitab prosa
Andai senyummu dusta, aku tak mau tahu
Andai aku ada untuk kau rasa
Landai, landai harapku bertumpu sayu di landai haru
Memuji harum langkah pudarmu dikejar waktu
Adalah tak mungkin
Bagi debu bersanding ratu
Dadaku taman seribu kuncup rindu, kusulam senyum tanpa kata
Tataplah aku!
Dan baca yang kurasa!
- Untuk Antika -
15 juli 011
00.44 wib
Labels:
Puisi
Thursday, 14 July 2011
Layar Pucat
Layar itu memucat kawan
Disapu angin tak diundang
Mabuk rona tak bernama
Bilamana aku lokan, telah redam aku dimakan lautan
Sudah banyak cerita, banyak luka aku tuak dalam dada
Masih juga aku bujang di depan cinta
Layar itu pucat wahai angin, gemetaran memandang rona disana
Adalah tak pasti kapan hidup disapa mati
Tapi bukan itu aku risaukan, aku takut mati membawa hati yang tak pasti
Telak dibuat koyak oleh cinta sendiri
Sudah banyak cerita, sudah punah banyak warna
Masih juga, aku pucat diremuk rasa.
14 juli 011
Disapu angin tak diundang
Mabuk rona tak bernama
Bilamana aku lokan, telah redam aku dimakan lautan
Sudah banyak cerita, banyak luka aku tuak dalam dada
Masih juga aku bujang di depan cinta
Layar itu pucat wahai angin, gemetaran memandang rona disana
Adalah tak pasti kapan hidup disapa mati
Tapi bukan itu aku risaukan, aku takut mati membawa hati yang tak pasti
Telak dibuat koyak oleh cinta sendiri
Sudah banyak cerita, sudah punah banyak warna
Masih juga, aku pucat diremuk rasa.
14 juli 011
Labels:
Puisi
Saturday, 9 July 2011
Nyala Sunyi
Dadaku rebah dalam gelisah, aku nyawa tanpa darah
Kau selusupi waktu dan taburi tiap jengkal batu dengan rindu
Namamu tumbuh jadi kenanga, jadi dahlia, jadi sakura yang menari dihempas keras kegelesihanku
Bertambah indah seiring lukaku menganga curiga: ingin menatapmu lebih lama
Aku kini makam personaku sendiri
Aku kini panggung, pesonamu menari
Bukan kau wahai tubuh!
Puisiku untuk keindahan sang Ruh!
Sajakku untuk pesona yang mengguruh!
Cemerlang dalam rahasia, tersulam dibalik daging dan muka
Aku kini nisan kewarasanku yang rapuh!
Aku kini api, kau bara kau suluh!
Kita satu dalam nyala sunyi!
Kau selusupi waktu dan taburi tiap jengkal batu dengan rindu
Namamu tumbuh jadi kenanga, jadi dahlia, jadi sakura yang menari dihempas keras kegelesihanku
Bertambah indah seiring lukaku menganga curiga: ingin menatapmu lebih lama
Aku kini makam personaku sendiri
Aku kini panggung, pesonamu menari
Bukan kau wahai tubuh!
Puisiku untuk keindahan sang Ruh!
Sajakku untuk pesona yang mengguruh!
Cemerlang dalam rahasia, tersulam dibalik daging dan muka
Aku kini nisan kewarasanku yang rapuh!
Aku kini api, kau bara kau suluh!
Kita satu dalam nyala sunyi!
9 juli 011
Labels:
Puisi
Wednesday, 15 June 2011
Daun Yang Memerah
Daun yang memerah, lambaikan sekilas rindu pada putih mataku
Sendu ini sudah lelah bergumam sendiri, ia terbang dan menghilang
Tinggalkan jejak yang tak sudi kubaca, hitamku telah reda
Aku sudah jadi setengah Dewa, sepenuh gila, penuh dengan Cinta.
Merah bagai daun Maple.
15 juni 2011
Sendu ini sudah lelah bergumam sendiri, ia terbang dan menghilang
Tinggalkan jejak yang tak sudi kubaca, hitamku telah reda
Aku sudah jadi setengah Dewa, sepenuh gila, penuh dengan Cinta.
Merah bagai daun Maple.
15 juni 2011
Labels:
Puisi
Thursday, 10 February 2011
Fluktuasi
Salju dalam jalanan yang berserakan
menuai langkah yang kutanam dalam-dalam
Roda pacuku telah jadi ular yang kedinginan
melingkar kehilangan, meraba kenangan
Senja abu-abu
mengangkat lengan harimu ke alam ragu
waktu
terus menikam kita dengan lembutnya,
Kucuran darahmu menuliskan hangat
yang lama kurindu
Lukiskanlah jalan bagi semua hewan untuk transit
bagai Noah, derita membentuk bahteranya sendiri
mengangkut dua hal berlawanan dalam satu dada
yang sama
Kau, jadikan ketololanku sebagai pena
yang mensastrakan dukaku jadi lagu
mengiringi tandu-tandu yang mengusung jejak
langkahku
menembus abu
sang waktu
Tema dunia
adalah tentang memuja perubahan
dan menjagal stagnansi masa kini
Saat banjir mereda
tanah yang kita jejak adalah konstruksi surga
penuh potensi tak terbatasi
imaji
Hari ini taman kita adalah taman duri
esok atau kelak namun pasti
Warna api nyalakan wangi mawar
dan melati
10 Feb. 011
Labels:
Puisi
©2009 Cermin Dalam Puisi by David Prayitno | Dilarang mengutip tanpa seizin admin.
Blogger Templates created by Deluxe Templates
Designed by grrliz
Blogger Templates created by Deluxe Templates
Designed by grrliz